Kami Butuh Pendidikan Budaya Kritis Pak...!
Pada
dasarnya masyarakat Indonesia sejak masa kolonial telah melakukan penolakan
arus kekuatan global yang membawa faham kolonialismenya. Penjajahan dengan misi
penguasaan politik dan ekonomi, disadari sebagai bentuk penindasan dan
peminggiran akan hak-hak sebagai manusia yang bebas. Kekuatan-kekuatan lokal
yang digalang oleh para pejuang dengan bangunan sosial budaya yang menjadi
identitas diri kehidupan masyarakat mampu menjadi alat untuk menolak penjajah
dan globalisasi ketika itu. Kekuatan global yang sekarang berubah bentuk
menjadi wajah menarik, yaitu pola hidup modern yang diwujudkan dengan budaya
konsumtif, pergaulan bebas, hedonistik, dan individualis, membawa masyarakat
terlena dan tidak terasa bahwa dirinya sedang mengalami penjajahan yang lebih
dahsyat. Jangkauan informasi dan teknologi sampai ke wilayah yang
paling dalam dan paling individual mempengaruhi pola hidup manusia sampai pada
tingkat mengkhawatirkan. Manusia tidak faham bahwa dirinya memasuki
wilayah tatanan kehidupan yang sama sekali bukan milik dirinya. Hal
seperti ini pula mulai merasuki masyarakat kota Bone ditandai dengan masuknya
produk-produk kapitalisme seperti kfc,indomart,PS,Hotel mewah yang dibalik
semua itu masuk pula budaya barat yang tanpa kita sadari akan menghancurkan budaya
kita. Bone kental akan budaya yang kokoh mulai dari siri’,pangadereng,gotong royong,sopan dan memiliki jiwa kepemimpinan
yang peduli rakyat tapi semua itu hampir hilang ditandai dengan banyaknya gadis
hamil diluar nikah,budaya gotong royong semakin jarang kita ketemui. Kita mesti bangkit melawan budaya dari luar
yang mengancam budaya kita jangan pernah tertipu akan kemewahan yang mereka
bawa.
Proses yang dapat dilakukan
dalam mengokohkan kekuatan lokal tersebut melalui pendidikan kritis.
Pendidikan masyarakat yang selama ini sudah terbangun melalui pesantren, kyai,
ajengan, dan tokoh-tokoh lokal ternyata memiliki daya ampuh untuk mengimbangi
kekuatan luar. Oleh sebab itu, perlu dibangun terus kekuatan-kekuatan lokal
tersebut dengan pendidikan yang membebaskan meskipun tetap membuka diri dengan
kemajuan tetapi tidak terpengaruh dengan arus budaya kapitalis yang secara
laten memiliki agenda menjajah dan menindas.
Pada
saat yang sama ideologi konsumerisme/berpoyah-poyah juga didesakkan oleh
kekuasaan luar biasa dari bisnis periklanan dalam bentuk logo, merek, dan
label, dibawah sadar menanamkan prinsip ‘kenikmatan-gengsi-kemewahan’ pada
banyak individu. Sehingga dengan demikian globalisasi tidak saja
terjadi dalam skala makro, dalam rupa berbagai tata kebijakan ekonomi politik
global yang dipaksanakan pada kebijakan publik melalui tiga ‘matra sakti’:
deregulasi-privatisasi-liberalisasi. Tetapi, globalisasi juga terjadi dalam
skala mikro individu manusia, yang disuntikkan ke dalam berbagai pilihan
individu yang merujuk pada ragam budaya, identitas, dan gaya hidup global.
Meskipun hakekatnya adalah pemaksaan untuk memilih keseragamaan budaya,
identitas, dan gaya hidup. Seperti gaya hidup mengkonsumsi makanan cepat saji
ala Amerika, McDonal, KFC, Pizza Hut, A&W, gaya musik ala MTV, dan gaya
busana ala Barat. Untuk menolak dan melawan kekuatan neoliberalisme/paham kebebasan
baru memang tidak mudah. Hal ini karena kekuatan neoliberal mampu memasuki
relung-relung hati, perasaan, dan pikiran manusia, disamping mereka menguasai
sistem politik, ekonomi dan teknologi. Neoliberalisme dengan konsep
konsumerismenya lebih menarik ketimbang konsep kelompok-kelompok yang melawan
dan meloknya. Oleh sebab itu, pola efektif apa yang dibangun dalam rangka
mencegah dan melawan kekuatan neoliberal tersebut.
Pendidikan
memang merupakan alternatif pertama dan utama untuk membangun kesadaran
masyarakat atas keterjajahan diri oleh orang lain. Hanya masalahnya selama ini
justru pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik. Pendidikan
tidak bisa terbebaskan dari upaya untuk melanggengkan dan melegitimasi
kekuasaan sistem sosial ekonomi. Sehingga pendidikan cenderung sebagai sarana
untuk memproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Oleh sebab itu,
dibutuhkan sistem pendidikan yang justru membebaskan masyarakat dari dominasi
kekuasaan dan ketidakadilan. Pendidikan yang memproduksi sistem kesadaran
kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender, dan kesadaran
lainnya. Sehingga pendidikan diharapkan akan menghasilkan sebuah gerakan untuk
melawan dehumanisasi, eksploitasi kelas, dominasi gender, dan dominasi serta
hegemoni budaya lainnya. Pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi
kesadaran diri dan mengembalikan kemanusiaan manusia. Dalam hal ini
pendidikan berperan membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya
untuk pembebasan. Kesadaran, menurut Paulo Freire (1986), terdapat tiga
golongan yaitu: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif
(naivalconsciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness).
Perlu
dibangun visi kritis pendidikan terhadap sistem yang dominan sebagai pemihakan
kepada yang lemah dan tertindas. Sehingga pendidikan mampu menciptakan sistem
sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis pendidikan harus menciptakan
ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk
transformasi sosial. Dengan kata lain pendidikan adalah memanusiakan kembali
manusia yang mengalami ‘dehumanisasi’ karena sistem dan struktur yang tidak
adil. Oleh sebab itu, pola-pola pendidikan yang dapat diterapkan dalam hal ini
adalah pola pendidikan andragogi (pendidikan untuk orang dewasa) yang
disesuaikan dengan kondisi sosial dan lingkungan masyarakat.
Oleh
karena itu dibutuhkan paradigma kritis dalam proses pendidikan. Yaitu paradigma
yang memanusiakan manusia. Pendidikan yang berpihak kepada peserta didik untuk
mampu bangkit membangun kesadaran sosial, sehingga mampu bangkit untuk
melakukan transformasi sosial. Pendidikan yang demikian ini harus dibangun
relasi lingkungan dan penciptaan sistem prasarana penyelenggaraan pendidikan
yang demokratis. Dalam sistem prasaran yang otoriter dan tidak demokratis,
sulit bagi pendidik untuk memerankan peran kritisnya. Dengan demikian langkah
strategis terpeniting adalah menciptakan proses belajar yang otonom dan
partisipatoris dalam pengembangan kurikulum, dan penciptaan ruang bagi proses
belajar bagi perserta didik untuk menjadi diri mereka sendiri. Dengan demikian
setiap pendidikan adalah otonom dan unik untuk menjadi diri mereka sendiri.
Jika demokratisasi pendidikan terjadi, maka akan melahirkan masyarakat yang
otonom dan demokratis pula. Akhirnya masyarakat yang demokratis akan
menyumbangkan lahirnya bangsa yang demokratis