Minggu, 27 November 2016

Dua Putri Mahkota Meleleh
Dalam Tungku Kepedihan
            Sebuah Negri yang dirundung kemalangan oleh murka To Palanroe, negri yang bernama Tompo tikka merupakan negri yang menjadi tempat diturunkannya tomanurunge We Pada Uleng dan Totompoq La Urung Mpessi yang kemudian mereka menjadi sepasang kekasih. Dari perkawinan itu lahirlah dua  orang putri yang bernama We Adiluwuq dan We Datu Sengngeng. Diumur anaknya yang mulai beranjak dewasa maka akan diadakanlah sebuah upacara tolak bala untuk putrinya tersebut. Di panggillah To Tenri Giling untuk menyebarkan undangan ke Sekolong langit dan Sepetala Bumi. Setelah undangan sudah tersebar dan  kini tibalah waktu diadakannya upacara tersebut, bebrbagai hidangan dan sesembahan telah disajikan akan tetatapi tak satupun tamu undangan yang nampak menyandarkan kapalnya di muara. Hal tersembut membuat perasaan manurunge tidak tentram maka di perintahkanlah To Tenri Giling untuk melihat tamu undangan di muara, karna takut kena murka segeralah dia berangkat kemuara. Di muara To Tenri Giling terus mengamati laut,pandangannya menerawang hingga keujung cakrawala tapi tak satupun layar kapal yang ia lihat.
            Sekian lama berada di muara, ia yakin bahwa tak akan ada kapal yang akan berlabuh di muara. Segera ia pergi keistana dengan tergesah-gesah masuk keistana dan bersujud dihadapan Urung Mpessie.
            Tak sabar menunggu Urung Mpessie segera bertanya:
            “bagaimana keadaan di muara? Apakah tamu undangan sudah datang. Sudah dilipatkah layar indah kapal mereka setelah mengarungi lawutan negeri seberang?”
            Dengan nada tergagap karna tak mampu menyampaikan apa yang ia lihat. Akhirnya To Tenri Giling berucap dengan mulut gemetar:
            “Meski telah menunggu lama dan memandang jauh ke tengah lautan. Tak satupun kapal besar dengan layar nan  indah yang terlihat bahkan perahu nelayanpun tak ada yang melintas”
            Mendengar berita yang tak menyenangkan itu murkalah La urung Mpessie segera dia memerintahkan untuk menghentingkkan dan mengosongkan gelanggangan tempat menyabung ayam. Karna tak mampu menahan diri lagi kemudian dia menuju keruang tamu tempat dihidangkannya makanan. Dengan nada keras dia menghamburkan semua makanan ,piring,gelas semuanya ia pecahakan bahakan nasi pun dia buang dan sebagian ia tumpahkan kesungai. Karna ulah La urung Mpessie membuat we Oddang Mpero sangiang serri bersedih karna mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya.
            Tiga bulan berlalu setelah kejadian itu Sangiang Serri benar-benar tak dapat menerima perlakuan dari penguasa Tompo Tikka maka naiklah ke Boting Langiq membawa amarah.
            Sesampai di Rualette segera ia bergegas menuju Sao Lette, didapatinya didalam balairung To Palanroe tengah duduk berdampingna dengan Datu Palingeq diatas tikar halilintar.
            We Oddang menyembah sembari meneteskan air matanya menyampaikan perlakuan La Urung mpessie kepada dirinya kepada To Palanroe. Setelah mendengar pernyataan We Oddang To Palanroe pun berkata “ janganlah engkau bersedih,jangan sampai hal ini menjengkelkan hatimu,terlebih mengecilkan hatimu. Karena ulah mdereka sebentar lagi akan ditimpa malapetaka. Akan berpisah roh We Pada Uleng dan La Urung mpessie. Akan kukirim To alebboreng,Paddengngengge,Perosola,dan Pulakallie untuk menyiksa manusia Tompoq Tikka.
            Mendengar hal itu,barulah lega perasaan we Oddang Mpero.ia benar-benar mersa puas sungguhpun demikian membuatnya takut untuk turun kebumi,memberikan kehidupan kepad manusia.
Setelah tiga bulan berada di Boting Langiq maka turunlah utusan yang diperintah To Palanroe menebari mala petaka di negri Tompoq Tikka. Semua tanaman menjadi rusak umbi-umbianmenjadi batu dan tanaman padi menjelma menjadi ilalang. Maka kelaparan pun merajalela sehingga seperti tempurung lutut manusia yang ada di Tompoq Tikka.
            Tidak berselang lama setelah peristiwa kelaparan. Disuatu malam We Pada Uleng ditimpa penyakit keras,ia tiba-tiba merasakan kegelisahan yang melanda hatinya,bagai dimabuk ombak  panas dadanya. Disampaikan perasaanya kepada suaminya tapi suaminya juga tidak tau apa yang mesti dilakukan kecuali menghiburnya tapi ia tak mampu menahannya bahkan rasa sakit ia derita mulai menjalar keseluruh tubuhnya.
            Karna tak kuasa melihat penderitaan istrinya La Urung Mpessie kemudia mengutus  We Majang untuk memanggi Puang Matoa tapi sayang Puang Matowa telah kembali kekayangan.
Kemudian We Majang mencoba untuk memanggil We Maddetia dan We Linroijeq yang merupakan salah satu Bissu yang turun bersama Tomanurunge. Sesampainya diistana segera ia mempersiapkan peralatan upacara setelah persiapan selesai segera ia melapalkan maantra sampai tak sadarkan diri tak lama setelah direbahkan makan naiklah rohnya ke Boting Langiq.
            Sesampai Di Boting Langiq didapati roh We Pada Uleng dan La Urung Mpessie sambil menyembah segera Linrojieq memintanya untuk kembali ke Tompoq Tikka untuk menemui anak kesayangannya yang tak hentinya menangisi mereka tetapi kedua roh tersebut tak pernah menyahut bahkan bergerak sedikitpun sampai roh kedua bissu itu kembali.
            Setelah tersadar La Urung Mpesssie segera menyakan keadaan istrinya dan We Maddetia menjawab “ Tidak Ada harapan Lagi,bahkan Hamba melihat roh tuan berada di Boting langiq.”
            Mendengar perkataan tersebut La Urung Mpessie bertambah terlukalah perasaannya,kesedihan merambati seluruh kesadarannya kemudian dia duduk disebalah istrinya sembari mengusap kepal istrinya sambil memebrikan semangat istrinya.
            Dihari itu pula La Urung Mpessie terkena penyakit parah iapun terbaring lemah disamping istrinya. Melihat orang tuanya terbaring lemah bertambah pulalah kesedihan kedua putrinya,tak henti-hentinya mereka menangis. Air mata kedua pewaris tahta itu mengalir deras diikuti pula seluruh inang yang tak sanggup melihat kedua putri itu tak hentinya menangis bahkan kedua putri itu merelakan dirinya untuk ditimpa pula penyakit.
            Ditengah kebingungan dan keputusasaan tiba-tiba We Pada Uleng terbangun dan meraih kedua tangan anaknya sembari berkata “jauhkan air mata dari kedua bola matamu anakku.janganlah kalia bersedih. Aku harap kalian bisa hidup saling mengasihani. Tinggallah kalian didunia ini dengan tenang. Sebab penyakitku tak dapat lagi di obati. Sudah padam rupanya lentera jiwaku.”
            Mendengar perkataan ibunya air mata yang tadinya redup,sekejap kembali bercucuran. Suara tangis kedua putri itu menggetarkan seluruh kerajaan. Tak sanggup mereka menatap kepasrahan dan kepedihan yng terpancar dari sorot mataperempuan yang ia cintai.
            Tujuh malam semenjak ditimpakannya penyakit keras hingga menjelang tengah malam wajah keduanya semakin pucat dengan tubuh yang sangat keras. Meski begitu ia berusaha berbicara dan menyampaikan wasiatnya.
            Setelah wasiatnya disampaikan suaranya semakin lemah dan penyakitnya kian menggerogoti tubuhnya. Sepertinya doa-doa yang terus dipanjatkan tak mampu lagi mengembalikan jiwanya. Tak lama waktu berselang kedua penguasa tompoq tikka dihembus waktu,nafasnya tandus,nadinya membatu. Tubuh La Urung Mpessi dan We Pada Uleng pun menjadi mayat diatas istana kencananya.
            Bagai dahan patah suara jerit tangis orang yang menyaksikan peristiwa pilu itu. We Adiluwuq dan We Datu Senggeng menjerit sejadi-jadinya. Air matanya benar-benar telah membuat penglihatannya buram.
            “Duhai puang,mengapa engkau tega engkau tega tinggalkan ketururnan yang engkau lahirkan bawalah aku kealam baka,sebagai buah tangan dihari akhirat. Aku tak ingin tinggal didunia ini hanya memandangi istana yang engkau tinggalkan yang semakin menambah kesedihanku” ratap We Adiluwuq.
            We Datu Senggeng bagai orang yang hilang ingatan, jeritannya bagai mengembara di kolong langi hingga membumbung kelangit menembus ke Peretiwi.
            Tak ingin berpisah dengan orang tuanya kedua putri itu terus saja menangis sembari mengikuti jasad orang tuanya yang hendak diusung ketempat penguburan.
“ Bawalah aku bersamakalian. Tak adakah rasa sedih di hati kalian, saat tiba diakhirat nanti kalian tak melihatku.” Ucap We Adiluwuq ter sungut-sungut. Menangis pula We Datu Senggeng sembari memeluk tubuh kakaknya sambil berkata :
            “Kini tak ada lagi tempat bagi kita untuk bergantung,kakanda. Kesialan,kemalangan kita betul-betul telah menjelma.”
            Berkata We Temmamalaq mendengar perkataan anak yang diasuhnya selama ini.
            “kuur jiwamu,anakku. Lebih baik seratus orang menjadi gantimu berangkat ke akhirat,asalkan engkau tidak pergi meninggalkan kami selamanya. Hiduplah kalian terus,semoga kelak kalian bisa menjadi tumpuan harapanku sepeninggal orang tuamu.
            Selama prosesi penguburan jasad kedua orang tuanya dimakamkan sepanjang itu pula tak henti-hentinya jeritan kedua putri itu menggema  merambati relung hati orang-orang.
            Berselang beberapa bulan sepeninggalan penguasa Tompoq Tikka datanglah We Tenrijelloq yang merupakan saudari dari We Pada Uleng datang ke istana Tompoq Tikka segera dia masuk di istana dan duduk disamping kemanakannya.
            Dengan nada tinggi menyuruh kedua putri yatim piatu itu untuk menuju kerajaan Sao Loci. Mendapat perlakuan yang kasar itu membuat kedua putri itu sedih dan tak bisa melakukan apa-apa,disudut matanya  air mata begitu saja bercucuran.
            Seperti awan berarak dan langit memear melihat kedua keponakannya itu. Dengan berang We Tenrijelloq bangkit dan bagai orang yang dimabuk tuak ia mondar mandir mengacungkan telunjuknya memerintahkan membongkar semua tempat penyimpanan harta peninggalan We Pada Uleng. Dalam waktu singkat habislah semua harta benda kerajaan Tompoq Tikka bahkan seutas benangpun tak ada yang tinggal kecuali gelang,sarung selliq dan semua pakaiaan kebesaran kedua putri itu.
            Menyaksikan kelakuan liar bibinya mebuat kedua putri itu terpaku. Keduanya semakin tak mampu berbuat apa-apa menyaksikan perubahan drastis pada orang yang mestinya menjaganya. Diamatanya bibinya telah menjelma menjadi binatang buas.
            Sesampainya di Sawammegga didapati sebauh surat didalam harta benda yang mereka ambil yang berbunyi:
            “Jika saja ada orang  yang berani menyentu dengan tangan pagar guci,jendela emas kemialau,pembatas dari timbikar keemasan istana Tompoq Tikka,maka dia akan hancur dan pendek umur. Tak akan muncul semata jarum pun keturunannya,rakyatnya akan punah,akan ditenggelamkan negerinya,dan hilang dibawah arus.”
            Usai membaca surat itu,beranglah  We Tenri Jelloq ia pun berpaling dan berseruh pada pesuruhnya untuk menyampaikan kepada rakyat Tompoq Tikka untuk datang ke Sawammegga dan akan celaka bagi mereka yang mengasihani anak yatim piatu yang tinggalkan penguasa Tomppoq Tikka.
            Mendengar seruan itu kian gelisalah kedua putri itu,kesedihan menyiksa hari-harinya,telah benar-benar hancur perasaanya.
            “Sudah tiga puluh malam berlalu dirampasnya harta kita adinda,semenjak itu pula korongkongan kita tak dilalui oleh sebutir nasi. Hanya air putih yang rajin memasuki kerongkongan kita” ratap We Adiluwuq sambil membelai rambut adiknya. Ditariknya napas dalam-dalam berusaha menghilangkan sesak dan sedih menggumpal didalamnya.
            Tiga bulan berlalu sejak dirampasnya harta benda istana Tompoq Tikka karna tak tahan dengan penderitaan muncullah didalaam beneak We Adiluwuq untuk pergi membuang diri ketempat yang jauh. Tak kuat rasanya ia hidup tanpa dapat merasakan nikmatnya nasi dan berbagai makanan melalui kerongkongannya. Tak pula kuat ia harus dijauhi oleh penduduk negerinya karena takut dihukum dan dibinasakan oleh penguasa Sawammegga jeka mendekatinya.
            Disuatu hari yang cerah “ adinda We Datu Senggeng,mungkin sebaiknya kita pergi saja membuang diri.entah disana kita akan mati,atau tetap bertahan hidup. Ini lebih baik dilakukan dari pada kita harus mati tersiksa bati” menangis sambil berkawa We Adiluwuq. Tangannya yang lembut mengusap-usap rambut adiknya yang hanya mampu mengalirkan air mata.
            Meski mereka bersepakat, namun mereka belum juga mengetahui kemana mereka harus membawa diri. Penuh kepasrahan merekapun memohon tuntunan kepada kedua orang tuannya.
            “Duhai Puang,menjadi anginlah engkau membimbing perjalan kami yang tak menentu ini. Iringilah kami ketempat yang jauh. Tak sanggup lagi kami tinggal di Tomppoq Tikka,mmandangi istan yang kau tinggalkan menyisakan duka dihati kami.” We Datu Senggeng memohon dengan sangat.
            We Adiluwuq kemudian berdiri mengiringi adiknya berjalan mengikuti kata hati. Tiba-tiba angin harum diperintahkan oleh turung Belae, mengiringi kedua anak yang sangat disayanginya. Kedua putri itupun berangkat menelusuri perbukitan, tanpa mengenal lelah mereka mendaki dan menurungi bukit sampai disebuah lembah mereka menjumpai sekawanan babi liar merekapun ketakutan sembari berputus asa bahwa meraka akan mendekati kematian tapi hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus berjalan dengan mengumpulkan segala keberanian yang tersisa. Namun tiba-tiba  seekor babi jantan keluar dari kawannanya sambil berkata “menyembahlah kalian sebab akan lewat turunan dari Puang Turun Belae di Tomppoq Tikka.
            Babi jantan itu pula menyampaikan agar kiranya kedua putri itu untuk kembali ke negrinya sebab tak cukup setahun harta mereka akan kembali dan menempati kembali isatan kerajaan. Namun kedua putri itu tetap melanjutkan perjalanan karna mereka sudah dirundung dengan keputus asaan.
            Keduanya terus saja berjalan menelusuri hutan mereka kerap kali menemukan kawanan hewan liar dan menyampaikan perkatann seperti yang diakatan oleh babi jantan tadi. Tetapi mereka tetap menghiraukan dan terus melanjutkan perjalanannya sampai suatu sungai yang membentang ditengah hutan belantara mereka berhenti didapatinya kawanan buaya yang memnuhi sungai tersebut, mereka kembali terperanjat oleh rasa takut.
            Belum selesai keterkejutan dan ketakutan mereka tiba-tiba seekor buaya mendekati mereka. Sama dengan binatang yang mereka jumpai sebelumnya buaya itupun meminta “  segeralah kembali sebab tidak sampai lima bulan semua harta bendanya akan dikembalikan dan mereka juga akan menempati kembali istan negrinya bahkan kata buaya itu akan datang berlabuh kapal keemasan yang diumpangi seorang putra mahkota benrama Batara Lattuq. Ia adalah keturuna manurunge ri Luwu. Ia berlayar  menuju ke Tomppoq Tikka untuk mencari istri yang sederajat  dengannya.
            Melihat kegelisahan dari kedua putri itu maka buaya tersebut menawari tumpangan untuk menyebrangi sungai. Naiklah kedua putri itu diataas buaya tersebut sesampai disebrang sungai segera mereka turun setelah mengucapkan terimakasih mereka segera melanjutkan perjalanan.
            Hingga akhirnya mereka mendapatkan persimpangan mereka kebingungan dan memutuskan untuk berpisah namun meraka tak pernah sampai ditempat tujuan masing-masing. Mereka tetap saja bertemu ddipersimpangan tempat mereka berpisah. Tujuh kali mereka berpisah,tujuh kali pula mereka bertemu dipersimpangan jalan yang sama.
            Karena kelelahan setelah berputar-putar tanpa mampu keluar,merekapun berhenti. We Datu Senggeng lantas menjatuhkan diri dan duduk disamping kakaknya.
            “Tak sanggup lagi aku berjalan,betisku mengeras,telapak kakiku melepuh..sakit..,” keluhnya sambil memperlihatkan telapak kakinya yang semula halus,telah rusak. Air matanya mengalir beriringan dengan peluh diwajahnya. Dengan napas tersenggal-senggal ia kemudian melanjutkan perkataannya “sudah tak sanggup pula bpergelangan kakiku bergerak dan sakit pula perutku kakanda,biarkanlah aku tinggal ditengah pdang rumput ini,menerima ketentua To Palanroe. Kalaupun aku harus mati,biarlah menghembuskan nafas terakhirku disini.”
            Tak tega ia melihat penderitaan adiknya itu meskipun We Adiluwuq  juga merasakan sakit ditubuhnya.
            “Kuur jiwamu, adinda. Semoga tetaplah semangat kekahyanganmu. Janganlah engku berkata seperti itu,” ucapnya seraya merangkul adiknya dan membaringkan dipangkuannya. We datu Senggeng bebrbaring ditengah padang rumput,sambil tubuhnya dipijat oleh kakanya. Karena kelelahan, keduanya tertidur hingga pagi menjelang.
            Saat terbangun meraka merasakan lapar dan tenggorokannya benar-benar kering, mereka merasakan haus dan lapar yang luar biasa mendera tubuhnya.
            Setelah keduanya berpikir panjang terlintas dibenak mereka bahwa apa yang dikatakan oleh binatang yang mereka jumpa diperjalanna bukanlah dusta, mungkin itu adalah tanda yang dibrtikan oleh To Palanroe.

            Tidak terlalu lama menimbang, keduanya akhirnya bersepakat untuk kembali ke Tomppo Tikka..............

0 komentar:

Posting Komentar