Sabtu, 04 April 2015

Kami  Butuh Pendidikan Budaya Kritis Pak...!


Pada dasarnya masyarakat Indonesia sejak masa kolonial telah melakukan penolakan arus kekuatan global yang membawa faham kolonialismenya. Penjajahan dengan misi penguasaan politik dan ekonomi, disadari sebagai bentuk penindasan dan peminggiran akan hak-hak sebagai manusia yang bebas. Kekuatan-kekuatan lokal yang digalang oleh para pejuang dengan bangunan sosial budaya yang menjadi identitas diri kehidupan masyarakat mampu menjadi alat untuk menolak penjajah dan globalisasi ketika itu. Kekuatan global yang sekarang berubah bentuk menjadi wajah menarik, yaitu pola hidup modern yang diwujudkan dengan budaya konsumtif, pergaulan bebas, hedonistik, dan individualis, membawa masyarakat terlena dan tidak terasa bahwa dirinya sedang mengalami penjajahan yang lebih dahsyat. Jangkauan  informasi dan teknologi sampai ke wilayah yang paling dalam dan paling individual mempengaruhi pola hidup manusia sampai pada tingkat mengkhawatirkan. Manusia  tidak faham bahwa dirinya memasuki wilayah tatanan kehidupan yang sama sekali  bukan milik dirinya. Hal seperti ini pula mulai merasuki masyarakat kota Bone ditandai dengan masuknya produk-produk kapitalisme seperti kfc,indomart,PS,Hotel mewah yang dibalik semua itu masuk pula budaya barat yang tanpa kita sadari akan menghancurkan budaya kita. Bone kental akan budaya yang kokoh mulai dari siri’,pangadereng,gotong royong,sopan dan memiliki jiwa kepemimpinan yang peduli rakyat tapi semua itu hampir hilang ditandai dengan banyaknya gadis hamil diluar nikah,budaya gotong royong semakin jarang kita ketemui.  Kita mesti bangkit melawan budaya dari luar yang mengancam budaya kita jangan pernah tertipu akan kemewahan yang mereka bawa.

Proses yang dapat dilakukan dalam mengokohkan kekuatan lokal tersebut melalui pendidikan kritis. Pendidikan masyarakat yang selama ini sudah terbangun melalui pesantren, kyai, ajengan, dan tokoh-tokoh lokal ternyata memiliki daya ampuh untuk mengimbangi kekuatan luar. Oleh sebab itu, perlu dibangun terus kekuatan-kekuatan lokal tersebut dengan pendidikan yang membebaskan meskipun tetap membuka diri dengan kemajuan tetapi tidak terpengaruh dengan arus budaya kapitalis yang secara laten memiliki agenda menjajah dan menindas.

Pada saat yang sama ideologi konsumerisme/berpoyah-poyah juga didesakkan oleh kekuasaan luar biasa dari bisnis periklanan dalam bentuk logo, merek, dan label, dibawah sadar menanamkan prinsip ‘kenikmatan-gengsi-kemewahan’ pada banyak individu.  Sehingga dengan demikian globalisasi tidak saja terjadi dalam skala makro, dalam rupa berbagai tata kebijakan ekonomi politik global yang dipaksanakan pada kebijakan publik melalui tiga ‘matra sakti’: deregulasi-privatisasi-liberalisasi. Tetapi, globalisasi juga terjadi dalam skala mikro individu manusia, yang disuntikkan ke dalam berbagai pilihan individu yang merujuk pada ragam budaya, identitas, dan gaya hidup global. Meskipun hakekatnya adalah pemaksaan untuk memilih keseragamaan budaya, identitas, dan gaya hidup. Seperti gaya hidup mengkonsumsi makanan cepat saji ala Amerika, McDonal, KFC, Pizza Hut, A&W, gaya musik ala MTV, dan gaya busana ala Barat. Untuk menolak dan melawan kekuatan neoliberalisme/paham kebebasan baru memang tidak mudah. Hal ini karena kekuatan neoliberal mampu memasuki relung-relung hati, perasaan, dan pikiran manusia, disamping mereka menguasai sistem politik, ekonomi dan teknologi. Neoliberalisme dengan konsep konsumerismenya lebih menarik ketimbang konsep kelompok-kelompok yang melawan dan meloknya. Oleh sebab itu, pola efektif apa yang dibangun dalam rangka mencegah dan melawan kekuatan neoliberal tersebut.

            Pendidikan memang merupakan alternatif pertama dan utama untuk membangun kesadaran masyarakat atas keterjajahan diri oleh orang lain. Hanya masalahnya selama ini justru pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik. Pendidikan tidak bisa terbebaskan dari upaya untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan sistem sosial ekonomi. Sehingga pendidikan cenderung sebagai sarana untuk memproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem pendidikan yang justru membebaskan masyarakat dari dominasi kekuasaan dan ketidakadilan. Pendidikan yang memproduksi sistem kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender, dan kesadaran lainnya. Sehingga pendidikan diharapkan akan menghasilkan sebuah gerakan untuk melawan dehumanisasi, eksploitasi kelas, dominasi gender, dan dominasi serta hegemoni budaya lainnya. Pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran diri dan mengembalikan  kemanusiaan manusia. Dalam hal ini pendidikan berperan membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan. Kesadaran, menurut Paulo Freire (1986), terdapat tiga golongan yaitu: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naivalconsciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness).

            Perlu dibangun visi kritis pendidikan terhadap sistem yang dominan sebagai pemihakan kepada yang lemah dan tertindas. Sehingga pendidikan mampu menciptakan sistem sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis pendidikan harus menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami ‘dehumanisasi’ karena sistem dan struktur yang tidak adil. Oleh sebab itu, pola-pola pendidikan yang dapat diterapkan dalam hal ini adalah pola pendidikan andragogi (pendidikan untuk orang dewasa) yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan lingkungan masyarakat.

            Oleh karena itu dibutuhkan paradigma kritis dalam proses pendidikan. Yaitu paradigma yang memanusiakan manusia. Pendidikan yang berpihak kepada peserta didik untuk mampu bangkit membangun kesadaran sosial, sehingga mampu bangkit untuk melakukan transformasi sosial. Pendidikan yang demikian ini harus dibangun relasi lingkungan dan penciptaan sistem prasarana penyelenggaraan pendidikan yang demokratis. Dalam sistem prasaran yang otoriter dan tidak demokratis, sulit bagi pendidik untuk memerankan peran kritisnya. Dengan demikian langkah strategis terpeniting adalah menciptakan proses belajar yang otonom dan partisipatoris dalam pengembangan kurikulum, dan penciptaan ruang bagi proses belajar bagi perserta didik untuk menjadi diri mereka sendiri. Dengan demikian setiap pendidikan adalah otonom dan unik untuk menjadi diri mereka sendiri. Jika demokratisasi pendidikan terjadi, maka akan melahirkan masyarakat yang otonom dan demokratis pula. Akhirnya masyarakat yang demokratis akan menyumbangkan lahirnya bangsa yang demokratis



0 komentar:

Posting Komentar