Dua Putri Mahkota Meleleh
Dalam Tungku Kepedihan
Sebuah Negri yang dirundung
kemalangan oleh murka To Palanroe, negri yang bernama Tompo tikka merupakan
negri yang menjadi tempat diturunkannya tomanurunge We Pada Uleng dan Totompoq
La Urung Mpessi yang kemudian mereka menjadi sepasang kekasih. Dari perkawinan
itu lahirlah dua orang putri yang
bernama We Adiluwuq dan We Datu Sengngeng. Diumur anaknya yang mulai beranjak
dewasa maka akan diadakanlah sebuah upacara tolak bala untuk putrinya tersebut.
Di panggillah To Tenri Giling untuk menyebarkan undangan ke Sekolong langit dan
Sepetala Bumi. Setelah undangan sudah tersebar dan kini tibalah waktu diadakannya upacara
tersebut, bebrbagai hidangan dan sesembahan telah disajikan akan tetatapi tak
satupun tamu undangan yang nampak menyandarkan kapalnya di muara. Hal tersembut
membuat perasaan manurunge tidak tentram maka di perintahkanlah To Tenri Giling
untuk melihat tamu undangan di muara, karna takut kena murka segeralah dia
berangkat kemuara. Di muara To Tenri Giling terus mengamati laut,pandangannya
menerawang hingga keujung cakrawala tapi tak satupun layar kapal yang ia lihat.
Sekian
lama berada di muara, ia yakin bahwa tak akan ada kapal yang akan berlabuh di
muara. Segera ia pergi keistana dengan tergesah-gesah masuk keistana dan
bersujud dihadapan Urung Mpessie.
Tak
sabar menunggu Urung Mpessie segera bertanya:
“bagaimana
keadaan di muara? Apakah tamu undangan sudah datang. Sudah dilipatkah layar
indah kapal mereka setelah mengarungi lawutan negeri seberang?”
Dengan
nada tergagap karna tak mampu menyampaikan apa yang ia lihat. Akhirnya To Tenri
Giling berucap dengan mulut gemetar:
“Meski
telah menunggu lama dan memandang jauh ke tengah lautan. Tak satupun kapal
besar dengan layar nan indah yang terlihat
bahkan perahu nelayanpun tak ada yang melintas”
Mendengar
berita yang tak menyenangkan itu murkalah La urung Mpessie segera dia
memerintahkan untuk menghentingkkan dan mengosongkan gelanggangan tempat
menyabung ayam. Karna tak mampu menahan diri lagi kemudian dia menuju keruang
tamu tempat dihidangkannya makanan. Dengan nada keras dia menghamburkan semua
makanan ,piring,gelas semuanya ia pecahakan bahakan nasi pun dia buang dan
sebagian ia tumpahkan kesungai. Karna ulah La urung Mpessie membuat we Oddang
Mpero sangiang serri bersedih karna mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya.
Tiga
bulan berlalu setelah kejadian itu Sangiang Serri benar-benar tak dapat
menerima perlakuan dari penguasa Tompo Tikka maka naiklah ke Boting Langiq
membawa amarah.
Sesampai
di Rualette segera ia bergegas menuju Sao Lette, didapatinya didalam balairung
To Palanroe tengah duduk berdampingna dengan Datu Palingeq diatas tikar
halilintar.
We
Oddang menyembah sembari meneteskan air matanya menyampaikan perlakuan La Urung
mpessie kepada dirinya kepada To Palanroe. Setelah mendengar pernyataan We
Oddang To Palanroe pun berkata “ janganlah engkau bersedih,jangan sampai hal
ini menjengkelkan hatimu,terlebih mengecilkan hatimu. Karena ulah mdereka
sebentar lagi akan ditimpa malapetaka. Akan berpisah roh We Pada Uleng dan La
Urung mpessie. Akan kukirim To alebboreng,Paddengngengge,Perosola,dan
Pulakallie untuk menyiksa manusia Tompoq Tikka.
Mendengar
hal itu,barulah lega perasaan we Oddang Mpero.ia benar-benar mersa puas sungguhpun
demikian membuatnya takut untuk turun kebumi,memberikan kehidupan kepad
manusia.
Setelah tiga bulan berada di Boting
Langiq maka turunlah utusan yang diperintah To Palanroe menebari mala petaka di
negri Tompoq Tikka. Semua tanaman menjadi rusak umbi-umbianmenjadi batu dan
tanaman padi menjelma menjadi ilalang. Maka kelaparan pun merajalela sehingga
seperti tempurung lutut manusia yang ada di Tompoq Tikka.
Tidak
berselang lama setelah peristiwa kelaparan. Disuatu malam We Pada Uleng ditimpa
penyakit keras,ia tiba-tiba merasakan kegelisahan yang melanda hatinya,bagai
dimabuk ombak panas dadanya. Disampaikan
perasaanya kepada suaminya tapi suaminya juga tidak tau apa yang mesti
dilakukan kecuali menghiburnya tapi ia tak mampu menahannya bahkan rasa sakit ia
derita mulai menjalar keseluruh tubuhnya.
Karna
tak kuasa melihat penderitaan istrinya La Urung Mpessie kemudia mengutus We Majang untuk memanggi Puang Matoa tapi
sayang Puang Matowa telah kembali kekayangan.
Kemudian We Majang mencoba untuk
memanggil We Maddetia dan We Linroijeq yang merupakan salah satu Bissu yang
turun bersama Tomanurunge. Sesampainya diistana segera ia mempersiapkan
peralatan upacara setelah persiapan selesai segera ia melapalkan maantra sampai
tak sadarkan diri tak lama setelah direbahkan makan naiklah rohnya ke Boting
Langiq.
Sesampai
Di Boting Langiq didapati roh We Pada Uleng dan La Urung Mpessie sambil
menyembah segera Linrojieq memintanya untuk kembali ke Tompoq Tikka untuk
menemui anak kesayangannya yang tak hentinya menangisi mereka tetapi kedua roh
tersebut tak pernah menyahut bahkan bergerak sedikitpun sampai roh kedua bissu
itu kembali.
Setelah
tersadar La Urung Mpesssie segera menyakan keadaan istrinya dan We Maddetia
menjawab “ Tidak Ada harapan Lagi,bahkan Hamba melihat roh tuan berada di
Boting langiq.”
Mendengar
perkataan tersebut La Urung Mpessie bertambah terlukalah perasaannya,kesedihan
merambati seluruh kesadarannya kemudian dia duduk disebalah istrinya sembari
mengusap kepal istrinya sambil memebrikan semangat istrinya.
Dihari
itu pula La Urung Mpessie terkena penyakit parah iapun terbaring lemah
disamping istrinya. Melihat orang tuanya terbaring lemah bertambah pulalah
kesedihan kedua putrinya,tak henti-hentinya mereka menangis. Air mata kedua
pewaris tahta itu mengalir deras diikuti pula seluruh inang yang tak sanggup
melihat kedua putri itu tak hentinya menangis bahkan kedua putri itu merelakan
dirinya untuk ditimpa pula penyakit.
Ditengah
kebingungan dan keputusasaan tiba-tiba We Pada Uleng terbangun dan meraih kedua
tangan anaknya sembari berkata “jauhkan air mata dari kedua bola matamu
anakku.janganlah kalia bersedih. Aku harap kalian bisa hidup saling
mengasihani. Tinggallah kalian didunia ini dengan tenang. Sebab penyakitku tak
dapat lagi di obati. Sudah padam rupanya lentera jiwaku.”
Mendengar
perkataan ibunya air mata yang tadinya redup,sekejap kembali bercucuran. Suara
tangis kedua putri itu menggetarkan seluruh kerajaan. Tak sanggup mereka
menatap kepasrahan dan kepedihan yng terpancar dari sorot mataperempuan yang ia
cintai.
Tujuh
malam semenjak ditimpakannya penyakit keras hingga menjelang tengah malam wajah
keduanya semakin pucat dengan tubuh yang sangat keras. Meski begitu ia berusaha
berbicara dan menyampaikan wasiatnya.
Setelah
wasiatnya disampaikan suaranya semakin lemah dan penyakitnya kian menggerogoti
tubuhnya. Sepertinya doa-doa yang terus dipanjatkan tak mampu lagi
mengembalikan jiwanya. Tak lama waktu berselang kedua penguasa tompoq tikka
dihembus waktu,nafasnya tandus,nadinya membatu. Tubuh La Urung Mpessi dan We
Pada Uleng pun menjadi mayat diatas istana kencananya.
Bagai
dahan patah suara jerit tangis orang yang menyaksikan peristiwa pilu itu. We
Adiluwuq dan We Datu Senggeng menjerit sejadi-jadinya. Air matanya benar-benar
telah membuat penglihatannya buram.
“Duhai
puang,mengapa engkau tega engkau tega tinggalkan ketururnan yang engkau
lahirkan bawalah aku kealam baka,sebagai buah tangan dihari akhirat. Aku tak
ingin tinggal didunia ini hanya memandangi istana yang engkau tinggalkan yang
semakin menambah kesedihanku” ratap We Adiluwuq.
We
Datu Senggeng bagai orang yang hilang ingatan, jeritannya bagai mengembara di
kolong langi hingga membumbung kelangit menembus ke Peretiwi.
Tak
ingin berpisah dengan orang tuanya kedua putri itu terus saja menangis sembari
mengikuti jasad orang tuanya yang hendak diusung ketempat penguburan.
“ Bawalah aku bersamakalian. Tak
adakah rasa sedih di hati kalian, saat tiba diakhirat nanti kalian tak
melihatku.” Ucap We Adiluwuq ter sungut-sungut. Menangis pula We Datu Senggeng
sembari memeluk tubuh kakaknya sambil berkata :
“Kini
tak ada lagi tempat bagi kita untuk bergantung,kakanda. Kesialan,kemalangan
kita betul-betul telah menjelma.”
Berkata
We Temmamalaq mendengar perkataan anak yang diasuhnya selama ini.
“kuur
jiwamu,anakku. Lebih baik seratus orang menjadi gantimu berangkat ke
akhirat,asalkan engkau tidak pergi meninggalkan kami selamanya. Hiduplah kalian
terus,semoga kelak kalian bisa menjadi tumpuan harapanku sepeninggal orang
tuamu.
Selama
prosesi penguburan jasad kedua orang tuanya dimakamkan sepanjang itu pula tak
henti-hentinya jeritan kedua putri itu menggema
merambati relung hati orang-orang.
Berselang
beberapa bulan sepeninggalan penguasa Tompoq Tikka datanglah We Tenrijelloq
yang merupakan saudari dari We Pada Uleng datang ke istana Tompoq Tikka segera
dia masuk di istana dan duduk disamping kemanakannya.
Dengan
nada tinggi menyuruh kedua putri yatim piatu itu untuk menuju kerajaan Sao Loci. Mendapat perlakuan yang kasar
itu membuat kedua putri itu sedih dan tak bisa melakukan apa-apa,disudut
matanya air mata begitu saja bercucuran.
Seperti
awan berarak dan langit memear melihat kedua keponakannya itu. Dengan berang We
Tenrijelloq bangkit dan bagai orang yang dimabuk tuak ia mondar mandir
mengacungkan telunjuknya memerintahkan membongkar semua tempat penyimpanan
harta peninggalan We Pada Uleng. Dalam waktu singkat habislah semua harta benda
kerajaan Tompoq Tikka bahkan seutas benangpun tak ada yang tinggal kecuali
gelang,sarung selliq dan semua pakaiaan kebesaran kedua putri itu.
Menyaksikan
kelakuan liar bibinya mebuat kedua putri itu terpaku. Keduanya semakin tak
mampu berbuat apa-apa menyaksikan perubahan drastis pada orang yang mestinya
menjaganya. Diamatanya bibinya telah menjelma menjadi binatang buas.
Sesampainya
di Sawammegga didapati sebauh surat didalam harta benda yang mereka ambil yang
berbunyi:
“Jika saja ada orang yang berani menyentu dengan tangan pagar
guci,jendela emas kemialau,pembatas dari timbikar keemasan istana Tompoq
Tikka,maka dia akan hancur dan pendek umur. Tak akan muncul semata jarum pun
keturunannya,rakyatnya akan punah,akan ditenggelamkan negerinya,dan hilang
dibawah arus.”
Usai
membaca surat itu,beranglah We Tenri
Jelloq ia pun berpaling dan berseruh pada pesuruhnya untuk menyampaikan kepada
rakyat Tompoq Tikka untuk datang ke Sawammegga dan akan celaka bagi mereka yang
mengasihani anak yatim piatu yang tinggalkan penguasa Tomppoq Tikka.
Mendengar
seruan itu kian gelisalah kedua putri itu,kesedihan menyiksa hari-harinya,telah
benar-benar hancur perasaanya.
“Sudah
tiga puluh malam berlalu dirampasnya harta kita adinda,semenjak itu pula
korongkongan kita tak dilalui oleh sebutir nasi. Hanya air putih yang rajin
memasuki kerongkongan kita” ratap We Adiluwuq sambil membelai rambut adiknya.
Ditariknya napas dalam-dalam berusaha menghilangkan sesak dan sedih menggumpal
didalamnya.
Tiga
bulan berlalu sejak dirampasnya harta benda istana Tompoq Tikka karna tak tahan
dengan penderitaan muncullah didalaam beneak We Adiluwuq untuk pergi membuang
diri ketempat yang jauh. Tak kuat rasanya ia hidup tanpa dapat merasakan
nikmatnya nasi dan berbagai makanan melalui kerongkongannya. Tak pula kuat ia
harus dijauhi oleh penduduk negerinya karena takut dihukum dan dibinasakan oleh
penguasa Sawammegga jeka mendekatinya.
Disuatu
hari yang cerah “ adinda We Datu Senggeng,mungkin sebaiknya kita pergi saja
membuang diri.entah disana kita akan mati,atau tetap bertahan hidup. Ini lebih
baik dilakukan dari pada kita harus mati tersiksa bati” menangis sambil berkawa
We Adiluwuq. Tangannya yang lembut mengusap-usap rambut adiknya yang hanya
mampu mengalirkan air mata.
Meski
mereka bersepakat, namun mereka belum juga mengetahui kemana mereka harus
membawa diri. Penuh kepasrahan merekapun memohon tuntunan kepada kedua orang
tuannya.
“Duhai
Puang,menjadi anginlah engkau
membimbing perjalan kami yang tak menentu ini. Iringilah kami ketempat yang
jauh. Tak sanggup lagi kami tinggal di Tomppoq Tikka,mmandangi istan yang kau
tinggalkan menyisakan duka dihati kami.” We Datu Senggeng memohon dengan
sangat.
We
Adiluwuq kemudian berdiri mengiringi adiknya berjalan mengikuti kata hati.
Tiba-tiba angin harum diperintahkan oleh turung Belae, mengiringi kedua anak
yang sangat disayanginya. Kedua putri itupun berangkat menelusuri perbukitan,
tanpa mengenal lelah mereka mendaki dan menurungi bukit sampai disebuah lembah
mereka menjumpai sekawanan babi liar merekapun ketakutan sembari berputus asa
bahwa meraka akan mendekati kematian tapi hal itu tidak menyurutkan semangatnya
untuk terus berjalan dengan mengumpulkan segala keberanian yang tersisa. Namun
tiba-tiba seekor babi jantan keluar dari
kawannanya sambil berkata “menyembahlah kalian sebab akan lewat turunan dari
Puang Turun Belae di Tomppoq Tikka.
Babi
jantan itu pula menyampaikan agar kiranya kedua putri itu untuk kembali ke
negrinya sebab tak cukup setahun harta mereka akan kembali dan menempati
kembali isatan kerajaan. Namun kedua putri itu tetap melanjutkan perjalanan
karna mereka sudah dirundung dengan keputus asaan.
Keduanya
terus saja berjalan menelusuri hutan mereka kerap kali menemukan kawanan hewan liar
dan menyampaikan perkatann seperti yang diakatan oleh babi jantan tadi. Tetapi
mereka tetap menghiraukan dan terus melanjutkan perjalanannya sampai suatu
sungai yang membentang ditengah hutan belantara mereka berhenti didapatinya
kawanan buaya yang memnuhi sungai tersebut, mereka kembali terperanjat oleh
rasa takut.
Belum
selesai keterkejutan dan ketakutan mereka tiba-tiba seekor buaya mendekati
mereka. Sama dengan binatang yang mereka jumpai sebelumnya buaya itupun meminta
“ segeralah kembali sebab tidak sampai
lima bulan semua harta bendanya akan dikembalikan dan mereka juga akan
menempati kembali istan negrinya bahkan kata buaya itu akan datang berlabuh
kapal keemasan yang diumpangi seorang putra mahkota benrama Batara Lattuq. Ia
adalah keturuna manurunge ri Luwu. Ia berlayar menuju ke Tomppoq Tikka untuk mencari istri
yang sederajat dengannya.
Melihat
kegelisahan dari kedua putri itu maka buaya tersebut menawari tumpangan untuk
menyebrangi sungai. Naiklah kedua putri itu diataas buaya tersebut sesampai
disebrang sungai segera mereka turun setelah mengucapkan terimakasih mereka
segera melanjutkan perjalanan.
Hingga
akhirnya mereka mendapatkan persimpangan mereka kebingungan dan memutuskan
untuk berpisah namun meraka tak pernah sampai ditempat tujuan masing-masing.
Mereka tetap saja bertemu ddipersimpangan tempat mereka berpisah. Tujuh kali
mereka berpisah,tujuh kali pula mereka bertemu dipersimpangan jalan yang sama.
Karena
kelelahan setelah berputar-putar tanpa mampu keluar,merekapun berhenti. We Datu
Senggeng lantas menjatuhkan diri dan duduk disamping kakaknya.
“Tak
sanggup lagi aku berjalan,betisku mengeras,telapak kakiku melepuh..sakit..,”
keluhnya sambil memperlihatkan telapak kakinya yang semula halus,telah rusak.
Air matanya mengalir beriringan dengan peluh diwajahnya. Dengan napas
tersenggal-senggal ia kemudian melanjutkan perkataannya “sudah tak sanggup pula
bpergelangan kakiku bergerak dan sakit pula perutku kakanda,biarkanlah aku
tinggal ditengah pdang rumput ini,menerima ketentua To Palanroe. Kalaupun aku
harus mati,biarlah menghembuskan nafas terakhirku disini.”
Tak
tega ia melihat penderitaan adiknya itu meskipun We Adiluwuq juga merasakan sakit ditubuhnya.
“Kuur
jiwamu, adinda. Semoga tetaplah semangat kekahyanganmu. Janganlah engku berkata
seperti itu,” ucapnya seraya merangkul adiknya dan membaringkan dipangkuannya.
We datu Senggeng bebrbaring ditengah padang rumput,sambil tubuhnya dipijat oleh
kakanya. Karena kelelahan, keduanya tertidur hingga pagi menjelang.
Saat
terbangun meraka merasakan lapar dan tenggorokannya benar-benar kering, mereka
merasakan haus dan lapar yang luar biasa mendera tubuhnya.
Setelah
keduanya berpikir panjang terlintas dibenak mereka bahwa apa yang dikatakan
oleh binatang yang mereka jumpa diperjalanna bukanlah dusta, mungkin itu adalah
tanda yang dibrtikan oleh To Palanroe.
Tidak
terlalu lama menimbang, keduanya akhirnya bersepakat untuk kembali ke Tomppo
Tikka..............